Kamis, 20 Januari 2011

sastrawan kepri

Dra Hj Suryatati A Manan: Membangun Kota Gurindam Negeri Pantun
SETELAH era reformasi, otonomi daerah pun berkembang di Indonesia. Banyak kota atau daerah yang tadinya termarjinalkan atau yang tidak diperhitungkan dan dipandang sebelah mata, diberi kesempatan untuk menjadi kota mandiri. UU No 5/2001 tentang Otonomi Daerah memang membuat banyak perubahan. Masing-masing kota yang merasa memenuhi kriteria, mengajukan diri menjadi daerah otonomi. Tentu tak semua permintaan daerah dipenuhi. Yang memenuhi syarat, disahkan oleh Pemerintah, dan kota itu pun berhak mengelola sendiri pembangunan daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Kota tersebut terpacu untuk mengekspos potensi alam atau memacu sumberdaya masyarakat untuk "bersaing" dengan kota-kota yang sudah lebih maju sebelumnya. Ada yang berhasil, tapi ada juga kota yang masih disubsidi oleh provinsi atau pemerintah pusat.

Salah satu kota yang beruntung menjadi kota mandiri adalah Tanjungpinang. Sejak terbentuknya Kota Tanjungpinang, Pemko Tanjungpinang Sebagai Daerah Otonom yang merupakan Pemekaran dari wilayah Kabupaten Kepulauan Riau (Kabupaten Bintan) berusaha menyusun Perencanaan tahapan - tahapan pembangunan, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik. Pelaksanaan Pembangunan tidak terlepas dari Visi dan Misi Kota tersebut yaitu terwujudnya Kota Tanjungpinang sebagai pusat perdagangan dan jasa industri, pariwisata serta pusat budaya Melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis sejahtera lahir dan batin pada tahun 2020.

Kota Tanjungpinang terbentuk berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 2001 Tanggal 21 Juni 2001 dengan Luas wilayah 239,5 km2, terdiri dari 131,54 km2 daratan dan 107,96 km2 lautan.

Ada 7 misi Kota Tanjungpinang yaitu peningkatan sumber daya manusia., pemberdayaan masyarakat, mengembangkan tata nilai kebudayaan melayu, pengembangan dan peningkatan infrastruktur, menjalin dan mengembangkan hubungan kerja sama dalam dan luar negeri, melihara dan memantapkan stabilitas politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan dan ketertiban masyarakat, meningkatkan kualitas dan kuantitas aparatur pemerintah.

Kota Tanjungpinang selain unik, juga sangat khas. Unik, karena sejak tahun 2002 menjadi kota otonom yang dipimpin oleh seorang perempuan sebagai walikota hingga tahun 2012 (dua periode). Khas, karena Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau itu sangat kental dengan budaya Melayu, bahkan telah dicanangkan sebagai "Kota Gurindam Negeri Pantun." Berikut ini, rangkuman percakapan SP dengan Walikota Tanjungpinang Dra Hj Suryatati A Manan.

Bagaimana proses Tanjungpinang menjadi kota otonomi?
Kota ini sebelumnya adalah ibu kota Kabupaten Daerah Tk II Kepulauan Riau, Provinsi Riau. Sejak 1983 berstatus kota administratif. Setelah era reformasi, tahun 2.000, diperjuangkan peningkatan statusnya menjadi kota otonom. Akhirnya, sejalan dengan UU No 5/2001, Tanjungpinang pun menjadi kota otonom, tidak lagi di bawah Kabupaten Kepulauan Riau, yang pemerintahannya berjalan efektif sejak 16 Januari 2002. Kemudian, tahun 2004, Provinsi Kepulauan Riau terbentuk, dan Tanjungpinang menjadi ibu kotanya.

Bagaimana ceritanya Tanjungpinang disebut Kota Gurindam?
Setiap kota biasanya punya julukan khas. Sejak 2002 kota ini dikenal dengan nama Kota Gurindam. Bangsa kita maupun bangsa lain yang memiliki rumpun Melayu pasti mengenal Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia yang juga pahlawan nasional dengan karya agungnya "Gurindam Duabelas." Raja Ali Haji adalah kelahiran Pulau Penyengat, Tanjungpinang. Selain untuk mengenang karyanya, Gurindam juga merupakan singkatan Gigih, Unggul, Ramah, Indah, Damai, Aman, Manusiawi.

Mengapa kemudian menjadi Kota Gurindam Negeri Pantun?
Sebagai kota otonom Tanjungpinang terus bertumbuh dan berkembang. Berbagai penghargaan nasional diraih seperti di bidang pembangunan, kebersihan, pahlawan nasional, karang taruna dan sebagainya. Meski slogan Kota Gurindam sudah tepat tapi rasanya ada yang kurang, akhirnya didapati kata yang pas, yaitu pantun. Itu sebabnya, pada 29 Juli 2007 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dideklarasikan Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun. Dan, kota ini pun dipopulerkan sebagai "Kota Gurindam Negeri Pantun."

Apa yang dimaksud dengan Negeri Pantun?
Pantun dikenal sebagai satu di antara sastra lisan yang berkembang pada setiap zaman dalam masyarakat Melayu, termasuk di Tanjungpinang. Pantun mengajarkan orang bersopan santun, bertatakrama, beretika, bermasyarakat, dan memaknai rasa kemanusiaan dan beragama serta mencapai kemajuan dalam kehidupan. Pantun telah menjadi corak, citra, dan kreativitas penting bagi orang Melayu. Berpantun dalam setiap kesempatan menjadi ciri khas, bahkan inti yang tidak boleh tidak. Berpidato tanpa menyelipkan pantun rasanya ada yang kurang, bahkan, bisa dianggap tidak tahu adat.

Lalu, adakah alasan lainnya?
Yang paling mendasar dan argumentasi menamakan Tanjungpinang Negeri Pantun adalah mengingat dan mengenang putra terbaik bangsa Melayu (Indonesia) yang lahir, hidup, serta berkarya di Pulau Penyengat pada masa Kerajaan Melayu Riau, yang bernama Haji Ibrahim atau yang dikenal dengan nama Haji Ibrahim Datuk Kaya

Muda Riau. Dia adalah orang Indonesia pertama yang menerbitkan kumpulan buku pantun dengan judul "Perhimpunan Pantun Melayu", diterbitkan oleh W Bruining, Batavia, tahun 1877, dalam tulisan aksara Arab Melayu (Jawi) dan Latin. Sayangnya, data tentang tokoh pantun tersebut belum ada.

Apa kaitannya pantun dengan seni dan kehidupan?
Sependapat dengan para ahli, pantun adalah ungkapan singkat penuh sopan santun dan seni. Isi pantun menyangkut seluruh kehidupan manusia dan alam lingkungannya. Pantun mendidik orang untuk berbudaya, berperadaban, dan beragama, memperhalus akal-pikiran, budi bahasa, hati nurani, sehingga hidup menjadi tulus ikhlas, penuh berkah, dan rahmat, serta patuh pada Allah Yang Maha Esa.

Jadi, slogan Kota Tanjungpinang itu sudah sangat tepat untuk membangun masyarakat?
Sebutan Tanjungpinang sebagai Kota Gurindam Negeri Pantun sudah sangat tepat, cerdas, dan visioner. Dari kata gurindam dan pantun, sungguh memperjelas bagaimana kota ini dikelola dan masyarakatnya hidup, tumbuh, dan berkembang. Penduduknya menempatkan akal, budi, bahasa, dan kemampuannya dalam bingkai tahu diri, sadar, dan punya harga diri, dan beradat.

Apa saja pengalaman Anda sebagai walikota?
Sejak menjadi walikota administratif (1997-2001), pejabat walikota (2001-2002), walikota periode I (2003-2007), dan periode II (2007 hingga nanti, Insya Allah, tahun 2012), suka-dukanya pastilah banyak. Baik yang menyangkut pribadi, para pejabat di jajaran pemerintahan kota, atau pun masyarakat. Dari yang mengesankan hingga yang menyakitkan, sebagian besar tertuang dalam kumpulan puisi saya yang berjudul "Perempuan Walikota".



Oya, Anda juga pernah tercatat dalam MURI. Dalam hal apa?
Menjelang berakhirnya masa jabatan walikota dan wakil periode pertama(2007), diadakan pilkada. Saya berpasangan dengan Drs Edward Mushalli, kembali mencalonkan diri sebagai salah satu pasangan dengan nomor urut 1 dari 3 pasang calon. Akhirnya, kami menang dengan suara yang sangat signifikan (84,25%), sehingga Museum Rekor Indonesia (MURI) memberikan penghargaan yang langsung diserahkan oleh Jaya Suprana pada 14 April 2008.

Sebagai perempuan, Anda benar- benar tegar dan kuat, padahal tahun 2006 suami terkasih kembali kepangkuan Illahi.
Terima kasih. Jodoh, lahir, dan mati adalah kuasa Tuhan, tiada yang tahu. Tanggal 5 Januari 2006 sehari menjelang Hari Jadi Kota Tanjungpinangke-222, suami tercinta Ahmad Subroto dipanggil menghadap Sang Pencipta, meninggalkan saya dan keempat anak kami. Berkat dukungan anak-anak, sanak keluarga, dan teman-teman, saya tak perlu larut dalam tangisan yang berkepanjangan, saya menjalani hidup apa adanya, dan menerima segala sesuatu yang diberikan Allah SWT dengan rasa ikhlas.

Kapan Anda mulai menulis puisi?
Sejak tahun 2006 setelah diundang membaca puisi pada acara Gelar Sajak Jalan Bersama di TIM. Puisi pertama saya tulis pada 10 November 2006 bertepatan dengan Hari Pahlawan dengan judul "Janda." Sehari setelah itu lahir pula puisi kedua berjudul "Melayukah Aku." Hingga saat ini saya ketagihan menulis puisi dan terus akan menulis.

Apa obsesi Anda selanjutnya untuk Tanjungpinang dalam hal seni?
Kami di Tanjungpinang sedang mengumpulkan sejuta pantun, yang dikumpulkan dari berbagai even dan peristiwa, ditulis oleh anak-anak maupun dewasa, untuk kemudian disortir oleh para seniman atau penyair Tanjungpinang, dan akan dibukukan. Sekarang kira-kira sudah terkumpul sepuluh ribu pantun. Tahun 2012 di Tanjungpinang akan berdiri Istana Pantun, sebagai salah satu wujud slogan "Kota Gurindam Negeri Pantun." [SP/Rina Ginting]

Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 27 September 2009
SASTRAWAN KEPRI
Yang terkandung ke dalam corak-corak Melayu, yang mencerminkan nilai-nilai budaya tempatan serta norma-norma sosial masyarakatnya. Karena budaya Melayu amat bersebati dengan ajarann Islam, inti sari ajaran itu terpateri pula dalam corak seperti bentuk segi empat dikaitkan dengan sahabat Nabi Muhammad yang berempat, bentuk segi lima dikaitkan dengan rukun Islam yang lima, bentuk segi enam dikaitkan dengan rukun iman yang enam, bentuk wajik dikaitkan dengan sifat Allah yang Maha Pemurah, bentuk bulat dikaitkan dengan sifat Allah Yang Maha Mengetahui dan Penguasa Alam Semesta, dan sebagainya.

Dalam kebiasaan hidup orang Melayu, makna dan falsafah dalam setiap corak, selain dapat meningkatkan minat orang untuk menggunakan corak itu, juga dapat menyebarluaskan niai-nilai Islam yang mereka yakini. Itulah sebabnya, dahulu setiap perajin diajarkan membuat atau meniru corak, kemudian menjelaskan makna dan falsafah yang terkandung di dalamnya. Sudah menjadi kebiasaan perajin Melayu untuk tak terpaku kepada “corak tunggal” (corak dasar) saja. Berhubung dengan itu, mereka diberi kebebasan untuk mengembangkan corak sesuai dengan kemampuan masing-masing. Namun, pengembangan itu haruslah tak menghilangkan unsur dasarnya dan tak pula dilakukan sebarang saja. Perajin yang pakar mampu melihat “inti” setiap corak, kemudian “mengawinkan” –nya dengan corak lain sehingga menghasilkan bentuk yang indah dengan makna dan falsafah yang semakin luas. Kebebasan penggabungan ini amat besar faedahnya dalam memperkaya khazanah corak dasar Melayu. Itulah sebabnya, satu jenis corak dasar dapat direka dan divariasikan menjadi berpuluh-puluh corak dengan nama yang beragam dan makna serta falsafah yang beragam pula.

Untuk melihat sejauh mana kreativitas perajin mengembangkan corak, dapat diperhatikan corak-corak yang dipakai untuk kain tenunan, sulaman, tekat, suji, atau anyaman, ukiran, dan aksesori lainnya. Dengan kemampuan yang luar biasa, mereka mampu menjalin corak-corak itu ke dalam bentuk-bentuk yang serasi, baik perpaduan coraknya maupun komposisi dan ukurannya. Keahlian itu tentu diperoleh melalui pengkajian dan pemahaman tentang hakikat corak-corak dasar, makna, dan falsafahnya yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, diperlukan juga pengetahuan tentang adat istiadat dan budaya Melayu dalam arti luas. Keahlian memadukan corak itu, di sisi lain, menyebabkan mereka mampu menjalin corak yang lazim untuk tenunan dan sejenisnya dengan corak untuk bangunan atau alat dan kelengkapan yang lain. Corak awan larat dan kaluk pakis (kaluk paku), misalnya, tak hanya diperuntukkan bagi tenunan dan sejenisnya, tetapi lazim pula dipakai untuk bangunan dan benda-benda lainnya. Namun, setiap corak yang disepadukan itu selalu dilakukan secara cermat sehingga kelihatan serasi dan saling mengisi.

Corak-corak Melayu ditempatkan menurut kelaziman yang diwarisi turun-tenurun. Kelaziman itu berpunca dari bentuk dasar corak, dari makna dan falsafahnya, dan dari ketentuan adat tempatan. Corak awan larat dan kaluk pakis, misalnya, lazimnya ditempatkan pada bidang yang memanjang karena corak ini dapat direka bentuk tak terbatas. Corak pucuk rebung lazimnya ditempatkan pada bagian pinggir bidang atau berdampingan dengan kaluk pakis dan awan larat karena dapat disusun dengan beragam variasi. Corak bunga tunggal atau bunga sekuntum lazimnya ditempatkan pada bidang-bidang yang lapang, yang disebut bunga tabur, yang variasinya dapat dihubungkan dengan garis-garis lurus atau lengkung. Bila dihubungkan dengan garis lurus, disebut bunga bergelas dan apabila dengan garis lengkung, disebut bunga berangkai.

Corak itik pulang petang dan semut beriring lazimnya ditempatkan pada bidang memanjang seperti awan larat, kaluk paku, dan pucuk rebung karena dapat dipadukan dengan banyak variasi. Corak wajik-wajik lazimnya dipakai pada bidang yang memanjang dan untuk susur pelaminan, tudung hidangan, dan sebagainya. Corak tampuk manggis lazimnya dijadikan bunga tabur dan bunga bergelas. Begitulah corak-corak ditempatkan sesuai dengan kelaziman yang diwarisi.

Selain itu, ada pula kelaziman memilih corak untuk tenunan, sulaman, tekat, dan suji. Corak-corak ini lazimnya terdiri atas tampuk manggis, pucuk rebung, siku keluang, kaluk pakis, bunga-bungaan, awan larat, dan wajik-wajik. Namun, tak pula dibatasi untuk dimasukkannya atau ditempatkannya corak lain asalkan serasi dalam persepaduannya. Tolok ukur keserasian itu selalu dilihat dari komposisi bidang, makna dan falsafahnya, serta kepala kain. Di dalam tenunan, penempatan hiasan pada bagian kepala kain itulah yang paling menentukan atau paling diperhatikan orang. Kepala kain atau muka kain yang memakai ragi penuh disebut muka pekat.

Dengan mencontohkan kepada kelaziman itulah, sebagian besar para perajin Melayu menepatkan corak-corak yang mereka ketahui. Namun, kelaziman itu taklah membatasi kreativitas mereka untuk mengembangkan corak tersebut sepanjang tak menyalahi nilai yang dikandungnya. Corak lebah bergantung, misalnya, haruslah dipasang dengan bagian lengkungnya di sebelah bawah. Bila terbaik namanya bukan lagi lebah bergantung, tetapi menjadi corak oombak-ombak, yang makna dan falsafahnya pun lain pula. Hal itulah yang dahulu dikhawatirkan para perajin dalam merancang bentuk dan menempatkan corak tanpa pengetahuan yang mendalam mengenai makna dan falsafahnya.

Pemakaian corak Melayu juga ada pantang larangnya. Yang dipantangkan ialah corak-corak yang sudah dibakukan menjadi lambang-lambang atau simbol tertentu seperti lambang kerajaan atau lambang yang ditetapkan adat untuk orang atau tempat khusus. Walaupun begitu, upaya untuk mengembangkan corak Melayu taklah dibatasi, bahkan cenderung diberi kebebasan. Corak yang dijadikan lambang kerajaan, antara lain, corak Cogan Kerajaan Lingga-Riau dan corak yang terdapat pada cap kerajaan. Sudah menjadi ketentuan adat bahwa corak yang sudah diperuntukkan bagi raja atau orang besar kerajaan atau yang lazim mereka pakai dahulu tak dibenarkan dipakai umum.

Corak dan ragi ragam hias Melayu, umumnya, Melayu Kabupaten Lingga, khasnya, sudah berkembang sejak lama. Khazanah budaya ini merupakan pusaka turun-temurun sejak orang Melayu hidup dalam zaman Kerajaan Melayu pada masa lalu. Di Kabupaten Lingga kekayaan itu merupakan warisan dari Kerajaan Lingga-Riau, bahkan jauh sebelum itu.

Walaupun kita kini memiliki kecanggihan corak dan ragi ragam hias (untuk tenunan, tekat, suji, sulaman, anyaman, pelbagai peralatan, dan sebagainya) sebagai hasil dari ketinggian tamadun, kesemuanya itu bukanlah sesuatu yang tamat sampai setakat itu saja. Kreativitas budaya ini tak mengenal kata berhenti. Daya kreasi dan inovasi para seniman, budayawan, dan perajin sangat diharapkan untuk mengembangkan warisan mulia yang sedia ada itu untuk dapat dimanfaatkan sesuai dengan peredaran masa. Tak pernah ada sekatan untuk pengembangan serupa itu asal tetap diperhatikan nilai-nilai terala budaya Melayu yang bersumber kepada ajaran agama Islam.



Raja Ali Haji
Bapak Bahasa Indonesia, Sastra Melayu dan Pahlawan Nasional

Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad (Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ca. 1808- Riau, ca. 1873) adalah ulama, sejarawan, pujangga, dan terutama pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Ia merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan IV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis.
Kompleks makam keluarga Haji Ahmad di Pulau Penyengat, Kota Tanjung Pinang

Karya monumentalnya, Gurindam Dua Belas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada zamannya. Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara. Ia juga menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk. Raja Ali Haji juga patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu. Buku berjudul Tuhfat al-Nafis ("Bingkisan Berharga" tentang sejarah Melayu), walaupun dari segi penulisan sejarah sangat lemah karena tidak mencantumkan sumber dan tahunnya, dapat dibilang menggambarkan peristiwa-peristiwa secara lengkap.
Meskipun sebagian pihak berpendapat Tuhfat dikarang terlebih dahulu oleh ayahnya yang juga sastrawan, Raja Ahmad. Raji Ali Haji hanya meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. Dalam bidang ketatanegaraan dan hukum, Raja Ali Haji pun menulis Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik). Ia juga aktif sebagai penasihat kerajaan.

Ia ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional pada 5 November tahun 2004.

BM SYAMSUDDIN
lahir di Sedanau, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (sebelum pemekaran termasuk ke dalam wilayah Provinsi Riau, Ed), pada 10 Mei 1935. Ia menamatkan Sekolah Rakyat (SR) dan Sekolah Guru Bantu (SGB) di kampung kelahirannya itu. BM Syam melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru Atas (SGA) di Tanjungpinang pada pertengahan tahun 1950-an dan di sekolah inilah bakat kesastraan laki-laki bernama asli Bujang Mat Syamsuddin ini mulai terlihat.

Setamat SGA, BM Syam mengajar SD dan SMP di beberapa tempat di Tanjungpinang dan Sedanau, sebelum akhirnya memilih hijrah ke ibukota provinsi, Pekanbaru, pada pertengahan tahun 1970-an. Di kota ini kemampuan kesastraaan BM Syam semakin terasah. Karya-karyanya berupa puisi dan cerpen pun dimuat di bebagai media massa, di antaranya di Kompas dan Suara Karya Minggu, Suara Pembaruan, Lembaran Budaya ??Sagang?? Riau Pos, Haluan, Mingguan Genta, Majalah Amanah dan lain sebagainya.

BM Syam terbilang salah sedikit pengarang produktif Riau pada masanya. Di awal-awal karier kepengarangannya, ia tidak dikenal sebagai penulis cerpen -- ia memulai karier kepenulisannya melalui puisi -- namun sebenarnya cerpen sulungnya sudah dimuat di Majalah Merah Putih pada tahun 1956 dengan nama pena Dinas Syam.

Selain menulis sajak dan karya-karya fiksi (roman), BM Syam juga banyak menulis esei, kritik dan artikel kebudayaan di berbagai media massa di Indonesia. Ia juga pernah terjun ke dunia jurnalistik dengan menjadi wartawan di Majalan Topik (Jakarta), menulis laporan-laporan daerah dari Riau di harian Haluan dan beberapa tahun sebelum akhir hayatnya sempat bergabung dengan harian Riau Pos di Pekanbaru.

Setamat SGA BM Syam menjadi guru di sekolah rendah dan menengah di Pekanbaru pada tahun 1955-1981, di samping bertugas di Subseksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kotamadya Pekanbaru selama 10 tahun (1981-1991. BM Syam juga menjadi dosen luar biasa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau (FKIP UIR) (1988-1995).

Di antara buku-bukunya yang sudah terbit adalah lima cerita anak-anak Si Kelincing (1983), Batu Belah Batu Bertangkup (1982), Harimau Kuala (1983), Ligon (1984), Dua Beradik Tiga Sekawan (1982). Roman sejarahnya ialah Damak dan Jalak (1982), Tun Biajid I dan Tun Biajid II (1983), Braim Panglima Kasu Barat (1984), Cerita Rakyat Daerah Riau (1993). BM Syam juga menulis buku ilmiah popular untuk tingkat sekolah dasar, antara lain Seni Lakon Mendu Tradisi Pemanggungan dan Nilai Lestari (1995) dan Seni Teater Tradisional Mak Yong (1982), Mendu Kesenian Rakyat Natuna (1981).
Cerpen fenomenalnya, Cengkeh pun Berbunga di Natuna, mendapat perhatian khalayak sastra Riau ketika terbit di harian Kompas pada tahun 1991. Cerpen ini kemudian terpilih sebagai salah satu cerpen pilihan Kompas dan terbit dalam antologi Kado Istimewa (1992). Cerpen-cerpen penting lainnya antara lain Perempuan Sampan (1990), Toako (1991), Kembali ke Bintan (1991), Bintan Sore-sore (1991), Gadis Berpalis (1992), Pemburu Pipa Sepanjang Pipa, Nang Nora, dan Jiro San, Tak Elok Menangis (1992).

BM Syam wafat di Bukitttingi, pada hari Jumat, 20 Februari 1997 dan dikebumikan di Pekanbaru. Menjelang akhir hayatnya, BM Syam masih cukup produktif berkarya. Publik sastra Riau merasa sangat terharu dan kehilangan karena tokoh sastrawan besar Tanah Melayu ini sangat mengesankan dan familiar terhadap semua orang.

Hoesnizar Hood
(Kepulauan Riau)
Lahir di desa Sungai Ungar – Kepulauan Riau, 11 Desember 1967, Ia mengawali aktifitasnya sebagai seorang pembaca puisi, ia banyak berkesempatan membacakan puisi-puisinya di berbagai daerah di Indonesia dan juga luar negeri seperti Singapura serta Malaysia. Kumpulan puisinya “Kalau –Tiga Racik Sajak”-1997 dan “Tarian Orang Lagoi”-1999, serta beberapa antologi puisi, antara lain bersama penyair Malaysia ; Makam -2000 dan Tersebab Senandung Laut Hitam antologi penyair Kepulauan Riau-2002. Ia mendirikan sebuah komunitas seni yakni Pusat Latihan Seni Sanggam di Tanjungpinang yang lebih berorientasi pada berbagai seni pertunjukan dengan akar budaya Melayu dan banyak mengikuti kegiatan kesenian seperti : Pesta Gendang Nusantara di Malaka, Singapore Folk Fiesta di Singapura, dan International Folklore di Prancis serta Gamelan Festival – Yogyakarta, Festival Puisi Indonesia – Yogyakarta, Pergelaran seni GWK – Bali, Gelanggang Tari – Padang, Ecological Arts Gathering – Toba Sumatera Utara, dan Chingay Parade of Dream – Singapura. Puisi Dongeng Pasir-nya pernah menjadi ilham sebuah sinetron kerjasama Dewan Kesenian Kepulauan Riau dengan RCTI tahun 2003. dan mendapat Anugerah Kebudayaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata untuk kategori film tahun 2004. Sejak tahun 2004 ia dipercaya menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau. Salah satu puisinya :


Aku Menulis di Toba
Air kembalilah ke hati
Kembali kemusim percintaan
Jangan turun dimata
Kembalilah keawan luruhlah lagi tumpah dibadan

Seperti danau bercinta dengan hujan
Aku ingin melihat tajammu menusuk
bagai lukisan barisan serdadu dalam putaran dadu nasibku

Air peluklah bagai berpeluk rindu
Pecah satu bunyi asmara
Senandung siang malamku

Aku menulis di Toba
Kegelisahan berenang ke risau
Anggun gelombang berpagut danau bertabik dengan bukit bangsawan
bukit segala tuan
Raja segala tinggi adat segala nyawa

Aku menulis di Toba
Seperti suratan bathinku ditulis di langit
Seperti takdir saudaraku ditulis di tangan
seperti nasib negeriku ditulis dilangit di
tanganMu

Gunung gapailah ke dasar seperti pancang yang tegak
Dan kau hikayatkan kisah yang tenggelam berabad-abad

Jangan tutup rahasia malam dengan bulan
Jangan tutup rahasia siang dengan matahari

aku menulis di Toba
aku menulis di danau berahasia
gelombang nyanyian dan bukit lagu antara batu tua kayu lama
dalam rahasia dua kutup tangan tetua
menarilah manarilah

seperti tak perduli angin
dengan mesra memberikan aku gigil
Seperti lena nasibku dalam kubang bangga bangsaku yang tak tau kemana akan menghala
Seperti berjam-jam aku membaca
kemana arusmu ?

Abdul Kadir Ibrahim
(Tanjung Pinang)
Lahir di Kelarik Ulu, Natuna, Kepulauan Riau, 4 Juni 1966. Karya-karyanya terhimpun : Kumpulan Puisi 66 Menguak (1991), Negeri Air Mata (2004) dan kumpulan cerpen : Menjual Natuna (2000) dan Harta Karun (2001). Menurut Prof.Dr. Sapardi Djokodamono, puisi-puisinya cenderung untuk “bermain-main” dengan kata-kata dan menghidupkan kembali tradisi mantra di dalam perkembangan puisi Indonesia Modern. Sementara Dr. Ahmad Badrun berpendapat, sajak-sajaknya sebagian besar disusun secara tipografik mirip dengan perjalanan kapal yang menantang gelombang lurus dan berkelok-kelok (Akib Bertutur dan Bermistik, Riau Pos, Pekanbaru,2005). Menurut Ahmadun Yosi Herfanda, Akib berbeda dengan Sutardji. Sajak-sajaknya kata-kata kembali kepada asalnya, sebagai perpaduan bunyi vokal dan konsonan yang meletup begitu saja, sebagai gumam atau ucapan manusia primitif yang tanpa makna dan tanpa tujuan (Menemui Akib dari Cakrawala Sastra Indoneia, Republika, 18 September 2002). Sejumlah karyanya masih belum diterbitkan, antara lain : Al Quran dan Hadits sandaran Gurindam Dua Belas, Amuk Matahari, Pengantin Sampan, Rampai Islam : Dari Syahadat Sampai Lahat, Luka Hitam dan lain-lain. Salah satu puisinya :
• Kekuasaan Neraka
• Secuka Airmata
• Didih Luka

Kekuasaan Neraka
zaman tercurah airmata dan darah keinginan tamak keras legam
menyihir rindu pasung kelat racun nyawa semurah antah
kemaruk hidup menyangkul luka zuriat dunia
meniti bala peradaban cabikkoyak
gemerentam meriam bom
panas nuklir ludah
kekuasaan
amerika
josh
w
bush
sekutu barat jahanam
ambur demokrasi hak azasi
sesungguhnya jala-jaring iblis dajjal
iraq iran libya palestina pakistan indonesia
negara islam sedunia bilapun nerakalah! amerika punya surga

Sastrawan
Tusiran Suseno
Lahir di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 30 Juni 1957. Kedua orang tuanya berasal dari Jawa. Memulai karir sastra dan seni secara ’formal’ ketika bekerja di Radio Republik Indonesia (RRI) Tanjungpinang, pada tahun 1977. Tusiran yang mulanya bekerja sebagai pesuruh dan tukang bersih-bersih, belajar menulis naskah sandiwara radio dan akhirnya karya naskahnya dipakai oleh RRI Tanjungpinang.

Kemampuan menulis naskah, sesungguhnya, sudah terasah ketika kecil, di saat dia sering melihat-lihat seniman Tanjungpinang tampil di Teater Grota, yang diasuh Mazumi Daud. Penampilan Mazumilah yang membuat ia tergila-gila pada seni dan sastra.

Hingga berhenti dari RRI di penghujung 1990-an, Tusiran telah membuat 1.008 judul sandiwara radio yang semuanya sudah pernah ditayangkan. Sayangnya tak semua naskah yang pernah ditulisnya itu bisa diarsipkan. ‘’Hanya sekitar 800 judul saja,’’ ujarnya. Sisanya terpaksa dibakar saat RRI Tanjungpinang pindah kantor karena RRI tak punya tempat lagi untuk menampung seluruh arsip yang mereka miliki. Arsip naskah yang bisa diselamatkan itu disimpan di rumahnya. Namun, rumahnya kebanjiran pula pada akhir 2009 silam, sebagian naskah-naskah itu rusak karena basah.


Salah satu naskah buatannya yang berjudul ’Ombak Gelombang’ terpilih sebagai naskah sandiwara radio terbaik nasional pada tahun 1991. Prestasi itu mengantarkan Tusiran mewakili Indonesia pada pemilihan Morris High Award, sebuah sandiwara radio tingkat Asia di Jepang. Menurutnya, tantangan menulis naskah sandiwara radio jauh lebih berat dibanding naskah sinetron yang kini marak di televisi.

Selain menulis naskah sandiwara radio, di Tanjungpinang Tusiran juga dikenal karena kepiawaiannya melahirkan pantun. Hingga saat ini, ia sudah membuat 180 ribu lebih judul pantun dengan beragam tema. Ia mengatakan, seluruh pantunnya bersajak sempurna. Artinya, ekor kata di tengah kalimat, bukan saja ekor kalimat, memiliki bunyi yang sama.

Mencipta pantun bagi Tusiran bisa di mana saja. Ia tak perlu merenung lama untuk dapat ide melahirkan pantun baru. Ia mencatat seluruh pantun-pantun tersebut dengan rapi. ‘Sehari ia dapat membuat 100 pantun. Tusiran yang dinobatkan sebagai Seniman Kota Tanjungpinang pada tahun 2009 lalu, telah membukukan sejumlah pantunnya tersebut dalam sebuah buku berjudul ’Mari Berpantun’. Buku tersebut menjadi acuan bagi pelajaran sastra dan budaya di sekolah-sekolah di Tanjungpinang. Karena pantun jugalah Tusiran akhirnya bisa bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat deklarasi Tanjungpinang Negeri Pantun di Taman Ismail Marzuki (2006).

Tusiran tercatat juga sudah menerbitkan empat judul novel. Dalam setiap novel yang dibuatnya, Tusiran selalu menyelipkan pantun dalam alur cerita novel-novel tersebut yang merupakan ciri khas novelnya Satu novelnya yang berjudul ’Mutiara Karam’ terpilih sebagai pemenang pada kompetisi yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2006 lalu.

Ia mengaku anti membuat karya yang reaktif terhadap isu-isu yang sedang hangat dan bersifat sesaat. Maksudnya, jika sekarang sedang hangat isu tentang pemilihan gubernur, ia tidak akan membuat karya terkait pemilihan gubernur. ‘’Saya nggak memanfaatkan isu-isu seperti itu untuk cari keuntungan. Saya alami saja. Makanya, kadang karya saya surut ke belakang berupa refleksi sejarah,’’ ujarnya.




Kini ia bertugas di Perpustakaan Kota Tanjungpinang sebagai kepala Seksi Pengolahan, selain mengajar sastra dan budaya untuk muatan lokal di sekolah-sekolah di Tanjungpinang Ia juga membuka kursus gratis sastra kepada warga di rumahnya yang diberi nama Rumah Pantun Madah Kencana, di jalan Bhayangkara Nomor 31 Tanjungpinang.

(Dari Berbagai Sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar